Selasa, 17 Desember 2013

LEAVE NOT TREACE MAN !!!

MENDAKI GUNUNG DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL

Taman nasional menjadi tanda semakin tebalnya tekad Indonesia untuk mengayomi lumbung alam yang berisi jutaan keanekaragaman hayati unik. Dengan banyaknya wilayah gunung/pegunungan yang menjadi taman nasional seharusnya dapat menjadikan pendaki gunung sebagai garda terdepan menjaga kelestarian kawasan pegunungan dengan melakukan pendakian secara bijaksana


Aktiftias pendakian gunung kini semakin banyak dan besar peminatnya. Indonesia sebagai negara yang mempunyai ratusan gunung bisa dikatakan menjadi surganya para pendaki gunung. Saat akhir pekan atau hari-hari libur nasional, hampir sepanjang tahun gunung-gunung di Indonesia tidak pernah sepi dari aktifitas pendakian. Terlebih gunung-gunung di Pulau Jawa, Sumatra, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi.

Namun, mungkin ada beberapa hal yang tidak pernah kita sadari saat mendaki gunung pada gunung-gunung yang berstatus taman nasional. Seperti diantaranya Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Mendaki gunung di kawasan taman nasional sangat berbeda dengan gunung di luar kawasan. Ada aturan-aturan tersendiri yang harus diketahui dan difahami. Karena kawasan taman nasional mempunyai aturannya sendiri.

Telinga kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar kata taman nasional. Tetapi mengenai pengertiannya sepertinya tidak demikian. Banyak orang yang belum mengetahui apa itu taman nasional. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, taman nasional artinya kawasan pelestarian alam yang dikelola, dimanfaatkan untuk kegiatan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pelatihan, serta rekreasi dan pariwisata. Pengertian mudahnya taman nasional adalah areal atau kawasan yang dilindungi oleh negara.

Jadi taman nasional sendiri dapat diartikan sebagai tanah yang dilindungi, biasanya oleh pemerintah pusat, dari perkembangan manusia dan polusi. Taman Nasional merupakan kawasan yang dilindungi (protected area) oleh World Conservation Union Kategori II.

Bicara taman nasional tentu tidak bisa lepas kaitannya dengan konservasi. Konservasi dapat dipahami sebagai suatu manajemen biosfer, tempat dimana mahluk hidup atau organisme melangsungkan kehidupannya dengan menyediakan semua kebutuhannya secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi kehidupan manusia sekarang hingga generasi yang akan datang.

Dimensi konservasi sangat luas. Disadari bahwa manusia memiliki saling ketergantungan erat dengan lingkungannya. Berbagai aktivitas manusia akan menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap lingkungan tempat hidupnya. Begitu juga sebaliknya, perubahan pada lingkungan akan sangat mempengaruhi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.





Sejarah Taman Nasional

Gagasan taman nasional sendiri pertama kali tercetus karena dilatarbelakangi oleh seorang penyair Inggris, Willian Wordsworth, pada tahun 1810, yang menggambarkan Danau District sebagai proerti nasional “bagian dari hak milik nasional di mana setiap orang memiliki hak dan bagi yang memiliki mata untuk melihat dan hati untuk menikmati”.

Kemudian seorang pelukis George Catlin, saat melakukan perjalanan menuju Amerika Barat, tahun 1832, merasa khawatir akan masa depan penduduk asli Amerika dengan segala keajaiban alamnya yang dia temui dalam perjalananannya tersebut. Catlin menuliskan bahwa apa yang dia lihat itu dapat dilindungi agar tetap ada dan lestari – (Beberapa kebijakan melindungi bagus dari pemerintah)…dalam sebuah taman yang megah…taman nasional sebuah bangsa, dimana hidup manusia dan hewan, di keliaran alam dan kesegaran dari keindahan alami mereka”.

Kawasan Yellowstone menjadi taman nasional pertama dalam sejarah dunia setelah diresmikan sebagai taman nasional pada tahun 1872. Mengikuti jejak Yellowstone, negara-negara lainpun ikut meresmikan kawasan-kawasan yang mereka anggap pantas menjadi taman nasional. Diantaranya, kawasan Royal di sebelah selatan Sydney, Australia, diresmikan sebagai Taman Nasional Royal pada tahun 1879. Lalu, Kanada, 1887, Gunung Rocky resmi menjadi Taman Nasional dengan nama Banff National Park, yang sekaligus menjadi taman nasional pertama di Kanada. Setelah PD II banyak taman nasional diresmikan di seluruh dunia.

Taman Nasional di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Perkembangan taman nasional di Indonesia sangat berkaitan dengan sejarah konservasi di Indonesia. Diawali kegiatan perlindungan alam pada zaman Kolonial Belanda. Inisiatif perlindungan alam ini muncul dari sekelompok para peneliti botani dan pencinta alam yang menyatukan diri pada tahun 1912 dalam Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda (Nederlandsch Indische Vereeniging Tot Natuurbescherming). Perkumpulan ini mempelopori dan mengusulkan perlindungan terhadap kawasan-kawasan dan jenis-jenis flora dan fauna tertentu; mengusulkan peraturan-peraturan dan menyusun berbagai tulisan ilmiah mengenai keanekaragaman hayati dan perlindungan alam di bumi nusantara ini.
Wadah perkumpulan yang dimotori oleh Dr. Sijfert Hendrik Koorders ini, dijadikan sebagai alat perjuangan para anggotanya yang memiliki perhatian untuk mempertahankan kawasan hutan yang dinilai memiliki potensi keunikan flora dan fauna, fenomena geologi dan keindahan panorama alamnya.
Perhimpunan ini mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar 12 lokasi ditunjuk sebagai cagar alam. Usulan tersebut disambut baik oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, A.F.W. Idenburg. Maka pada tahun 1916 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Stbl No. 278 yang memuat peraturan untuk melindungi Alam di Hindia Belanda.
Salah satu upaya konservasi yaitu menunjuk dan atau menetapkan suatu kawasan untuk dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan konservasi. Kawasan Konservasi dinilai sangat penting sebagai benteng untuk mempertahankan kawasan hutan yang memiliki nilai ekologis dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi masyarakat di sekitar hutan.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi jika suatu wilayah ingin ditetapkan sebagai taman nasional. 1. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; 2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; 3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;   5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Semangat untuk perlindungan kawasan konservasi terus berlanjut pada paska kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Sejarah pengelolaan kawasan konservasi terus bergulir, dan sebagai tonggaknya pada tanggal 6 Maret 1980 ditetapkan 5 taman nasional pertama di Indonesia. 1. Leuser yang membentang di belantara tropis Bukit Barisan Sumatera; 2. Ujung Kulon dan 3. Baluran yang mengapit pulau Jawa di sisi barat dan timur; 4. Gede Pangrango sebagai mahkotanya; dan 5. Komodo berdiri tegak mengawal di ujung timur tanah air.
Kemudian 11 taman nasional menyusul lahir pada 1982, dan hingga kini telah berkembang menjadi 50 taman nasional yang menjadi kebanggaan bangsa dan perhatian dunia.
Gunung Sebagai Kawasan Taman Nasional
Di Indonesia kawasan taman nasional terbagi menjadi dua kategori. Taman nasional darat dan taman nasional laut. Kawasan gunung dan pegunungan menjadi bagian dari taman nasional darat. Dari 50 taman nasional di Indonesia, 18 kawasan diantaranya merupakan wilayah gunung/pegunungan. Diantaranya yang terkenal yaitu Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) – Jawa Timur, Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) – Jawa Barat, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) – Sumatera, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) – Sumatera, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) – Nusa Tenggara Barat dan Taman Nasional Lorenz – Papua.
Sebagai kawasan taman nasional sekaligus konservasi, gunung/pegunungan memegang peranan penting untuk keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Wilayah gunung tersebut memiliki sumber daya alam yang khas, keunikan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya, memiliki gajala alam dan satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh.
Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) sebagai salah satu dari 5 taman nasional pertama di Indonesia, menyimpan sejarah panjang dalam dunia konservasi alam. Rentang waktu 1797-1952 tidak kurang dari 370 ahli botani maupun zoologi mendaki gunung pangrango dan telah menyumbangkan dunia ilmu pengetahuan flora-fauna. Etalase alam ini memainkan peran utama dalam menguak rahasia ilmu pengetahuan untuk mendukung konservasi alam. Bahkan ahli botani saat itu melukiskan Gunung Gede Pangrango sebagai Mutiara Mahkota Jawa. Kawasan konservasi ini telah merubah pemahaman tentang hutan yang awalnya gelap dan menyeramkan menjadi hutan tropis sebagai suaka ekosistem yang kompleks dan gudang ilmu pengetahuan.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan taman nasional pegunungan yang memiliki hutan asli dan ruma bagi mamala besar yang saat ini kondisinya diambang kepunahan, diatanranya, Gajah Sumatera, Badak Sumatera, Harimau Sumatera dan Orangutan. TNGL telah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer bersama TNGP dan beberapa taman nasional lainnya oleh UNESCO. Tahun 1984 TNGL ditetapkan sebagai ASEAN Park Heritage. Lalu TNGL juga ditetapkan sebagai salah satu Tropical Rainforest of Sumatera sejak tahun 2004 oleh UNESCO dengan luas 1.094.692 Ha bersama TN Kerinci Seblat (TNKS) dan TN Bukit Barisan Selatan.
Yang tidak kalah terkenalnya dikalapangan para pendaki di Indonesia dan bahkan mancanegera Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan Taman Nasional Lorenz dengan gletser di puncaknya.
Sebagai salah satu wilayah yang paling rentan di dunia, kawasan gunung yang telah ditetapkan sebagai taman nasional mempunyai aturan-aturan tersendiri yang yang harus dipahami dan ditaati setiap pengunjungnya. Seperti pembatasan jumlah pengunjung, penetapan wilayah camp, waktu-waktu pendakian dan lain-lain. Semuanya dibuat untuk tetap bisa menjaga kelestarian wilayah tersebut dari kerusakan dan kehancuran ekosistem sebagai kawasan konservasi.
Aktifitas yang terlalu massif dengan jumlah pengunjung yang melebihi kuota memberikan dampak yang negatif terhadap wilayah taman nasional. Bukan hanya permasalahan klasik seperti sampah yang mungkin ditinggalkan sebagian pendaki. Polusi bisingnya banyaknya jumlah manusia juga dapat mengganggu ketenangan makhluk hidup lainnya. Bagaimana ketersedian sumber airnya. Buang air besar yang tidak dilakukan secara benar juga akan menimbulkan dampak yang buruk pada lingkungan. Bisa dibayangkan jika hal tersebut dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan oleh jumlah orang yang melebihi daya dukung suatu wilayah. Dan masih banyak dampak negatif lain yang ditimbulkannya termasuk masalah keamanan, kenyamanan dan keselamatan para pendaki itu sendiri.
Mengingat hal tersebut sepatutnya sebagai pendaki gunung wajib mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam suatu wilayah gunug/pegunungan yang akan didaki. Terutama aktifitas pendakian yang dilakukan di dalam kawasan taman nasional. Prinsip Leave Not Treace (baca: Leave Not Treace) dalam berkegiatan di alam bebas dapat menjadi pegangan untuk kita melakukan aktifitas pendakian mapun aktifitas alam bebas lainnya.
Adanya taman nasional menjadi tanda semakin tebalnya tekad Indonesia untuk mengayomi lumbung alam yang berisi jutaan keanekaragaman hayati unik. Keberadaan taman nasional yang menjadi kebanggaan nasional ini, menuntut ruang bathin bangsa untuk menunjukkan komitmennya bagi pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan.  Termasuk tentu kalangan pendaki gunung yang seharusnya bisa menjadi garda terdepan untuk menjaga kelestarian kawasan pegunungan dengan melakukan aktifitas pendakian secara bijaksana.





LEAVE NOT TREACE – Etika Berkegiatan di Alam Bebas
Menjelajahi gunung/pegunungan menjadikan pendaki gunung mengetahui banyak kondisi alam secara real.  Karenanya menjaga keberlangsungan dan kelestarian alam  pegunungan harus menjadi bagian dalam setiap pendakian.
Meningkatnya aktfitas manusia di alam terbuka seperti gunung/pegunungan untuk mencari kesenangan, keindahan, rekreasi dan minat khusus pendakian gunung otomatis turut peningkatan bekas atau tanda yang ditinggalkan. 
Peningkatan sampah, polusi udara, polusi suara, rusaknya sumber air, kunjungan massif manusia, gangguan terhadap kehidupan liar seperti tumbuhan dan hewan, menjadi tolok ukur perlunya aturan baku mengenai perilaku atau etika yang berlaku secara internasional dalam berkegiatan di alam bebas.
Sebagai bagian dari alam bebas,  gunung/pegunungan menjadi salah satu wilayah yang sangat rentan kelestariannya.  Melihat hal tersebut,  sebuah lembaga nirlaba swasta di Amerika, National Outdoor Leadership School (NOLS) sejak tahun 1990 telah mengembangkan Leave Not Trace.  Etika berkegiatan di alam bebas.  Awalnya dikembangkan untuk hutan hujan tropis di Amerika Latin. Dimana pada dasarnya berlaku untuk hutan hujan tropis diberbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Prinsip Leave Not Trace mempunyai tujuan untuk meminimalisir dampak sosial dan lingkungan terhadap alam bebas, seperti  gunung/pegunungan.  Prinsip ini dapat menjadi tuntutan meminimalkan bekas-bekas kehadiran kita di alam bebas terutama wilayah yang dilindungi seperti taman nasional, taman wisata alam dan cagar alam sebagai kawasan konservasi. Sejatinya Leave Not Trace adalah etika yang menjadi sikap dan kesadaran diri sendiri.
Persiapan dan Perencanaan Kedepan
Pelajari terlebih dahulu peraturan atau regulasi wilayah gunung/pegununganan yang akan didaki.
Jadwalkan pendakian dengan baik untuk menghindari musim pendakian atau kunjungan yang ramai.
Persiapkan diri untuk menghadapi cuaca ekstrem dan paling buruk serta bahaya dan keadaan darurat.
Pastikan Anda memiliki keterampilan dan peralatan yang dibutuhkan untuk aktivitas Anda dan untuk mengatasi keadaan darurat yang mungkin timbul.
Untuk alasan keselamatan dan lingkungan, minimalkan dampak terhadap pengguna barang yang dapat menimbulkan sampah. Packing atau bungkus ulang makanan untuk mengurangi sampah. Misalnya membuang kotak kardus yang tidak perlu
Sebaiknya datang dalam kelompok kecil. Jika dalam kelompok yang lebih besar, pecahlah menjadi beberapa kelompok kecil.


Hormati dan Toleransi Terhadap Orang Lain
Hormatilah pendaki atau pengunjung lain dan lindungi kwalitas pengalaman mereka.
Hormati dan bertoleransilah dengan orang-orang yang tinggal dan bekerja di pedesaan
Jangan menutup pintu masuk hutan atau jalan-jalan setapak. Ingatlah mungkin mesin pertanian, penduduk lokal dan layanan darurat memerlukan perlu akses tersebut sewaktu-waktu.
Berhati-hatilah untuk tidak merusak properti, seperti tembok, pagar, dan tanaman.
Berlaku sopan, bertegur sapalah dengan pengunjung atau pengguna jalan setapak lainnya.
Saat turun melalui jalan setapak dan berpapasan dengan yang mendaki, dahulukan mereka dengan memberinya jalan.
Beristirahat dan buatlah camp jauh dari jalan setapak dan pengunjung lainnya
Biarkan suara alam berlaku atau mengalir. Minimalkan suara kebisingan atau hindari mengeluarkan suara keras dan bunyi-bunyian lainnya

Menghormati Kehidupan Liar
Amati saja hewan liar dari jauh. Jangan mendekati atau mengikutinya Hindari mengganggu mereka, seperti pada waktu sensitifnya: musim kawin, bersarang dan membesarkan anak.
Jangan memberi makan hewan liar. Memberinya makan dapat mengganggu kesehatan mereka, mengubah perilaku atau kebiasaan alaminya, mengekspos mereka untuk predator dan bahaya lainnya serta merusak rantai makan yang ada.
Lindungi kehidupan liar dan makanan kita dengan menyimpannya dalam wadah. Juga simpan sampah dalam tempat yang aman dan jauh dari gangguan hewan liar.

Berjalan dan Berkemah Pada Permukaan Tanah Yang Baik dan Keras
Permukaan tanah yang baik dan keras, termasuk diantaranya, jalan setapak yang jelas, tempat berkemah atau mendirikan tenda, batu, kerikil, dan rumput kering.
Lindungi daerah alami dan sumber air dengan memberi jarak yang cukup atau tidak mendirikan tenda terlalu dekat dengan sumber air seperti mata air, sungai atau danau.
Temukan tempat terbaik untuk mendirikan tenda. Usahakan atau sebaiknya tidak membuat. Sangat tidak disarankan mengubah tempat berkemah, terutama pada daerah yang populer seperti taman nasional yang juga sekaligus menjadi kawasan konservasi.

Untuk daerah yang populer:
Konsentrasikan kegiatan pada areal perkemahan
Berjalanlah di tengah-tengah jalan setapak yang sudah ada, baik dalam kondisi basah maupun berlumpur. Usahakan untuk tidak menginjak rumput dan tanaman liar lainnya di pinggir jalan setapak.
Jagalah areal camp atau berkemah agar tidak melebar.
Fokuskan kegiatan diseputar areal  berkemah, terlebih pada daerah yang masih asli alamnya.
Biasakan mengembalikan areal berkemah seperti semula saat meninggalkannya.
Hindari menggunakan tempat atau lokasi dimana dapat timbul dampak baru terhadap alam

Biarkan Yang Anda Lihat dan Temukan
Melestarikan peninggalan masa lalu:  jangan menyentuh atau merubah susunan artefak, situs atau peninggalan budaya dan sejarah atau masa lalu. Cukup melihat atau memeriksanya saja. Termasuk juga di dalamnya sumur, daerah tambang dan monument.
Biarkan batu, tumbuhan dan objek lainnya sebagaimana Anda melihatnya saat itu.
Jangan membawa dan menaruh, menanam atau meninggalkan sesuatu (tumbuhan, binatang dan lainnya) yang bukan habitat alami kawasan tersebut.
Jangan membangun struktur bangunan yang bersifat permanen. Hindari membuat parit, kecuali jika benar-benar diperlukan dan jika sudah selesai timbun kembali atau kembali bekas parit tersebut seperti sedia kala.

Membuang Limbah Dengan Benar
Pack saat masuk dan pack saat keluar. Periksa areal berkemah kita dan sekelilingnya, apakah ada sampah atau makanan tersisa. Pack keluar semua sampah dan sisa-sisa makanan yang Anda bawa.
Timbun limbah padat manusia dalam lubang yang digali dengan kedalaman 6 – 8 inch dan berjarak paling tidak antara 25 – 60 meter atau lebih dari sumber air, areal berkemah dan jalan setapak.
Bawa kembali kertas toilet dan produk kesehatan atau pemakaian pribadi lainnya
Jika mandi dan cuci peralatan makan, bawalah air dengan jarak yang cukup menjauh dari sumber air. Minimalkan sesedikit mungkin penggunaan sabun berbahan biodegradable.
Buanglah air bekas cucian peralatan masak dan makan Anda dengan cara memencarkannya.

Minimalkan Efek Penggunaan Api
Kebakaran dapat menyebabkan dampak yang lama dan menghancurkan hutan, habitat alami serta lahan pertanian. 
Gunakan kompor portable dan ringan dengan bahan bakar yang dapat disesuaikan jenisnya untuk memasak.
Pertimbangkan secara masak dan bijak jika ingin membuat api unggun.  Usahakan untuk tidak membuatnya, kecuali memang benar-benar memerlukannya dan keadaan darurat dan mendesak. Perhatikan hal berikut jika mendesak:
Perhatikan kondisi cuaca saat itu
Gunakan ranting atau batang pohon mati dan rubuh
Buat pada lokasi yang tahan terhadap api
Buat api unggun hingga menjadi abu
Jangan tinggalkan api unggun dalam keadaan masih menyala
Pastikan api telah benar-benar padam atau telah menjadi abu saat anda meninggalkannya
Buat lingkaran cincin api saat barbecue atau membuat gundukan api
Jauhkan kebakaran kecil. Gunakan tongkat kayu yang jatuh di tanah yang dapat dipecah dengan tangan. Jangan gunakan vegetasi yang tumbuh untuk digunakan sebagai kayu bakar
Hindari membakar plastik atau bahan lainnya: yang dapat memaparkan asap beracun
Saat membuat bakaran dan akan meninggalkannya, bakar hingga menjadi abu. Padamkan api sepenuhnya, dan kemudian sebarkan abu dingin


KAWASAN GUNUNG/PEGUNUNGAN INDONESIA YANG DITETAPKAN SEBAGAI TAMAN NASIONAL
TN Gunung Leuser, NAD
TN Batang Gadis – Gunung Sorik Marapi, Sumut
TN Kerinci Seblat, Jambi-Sumbar-Bengkulu-Sumsel
TN Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
TN Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat
TN Gunung Ciremai, Jawa Barat
TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah
TN Gunung Merapi, Jawa Tengah
TN Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur
TN Meru Betiri – Gunung Sodung, Jawa Timur
TN Baluran – Gunung Baluran, Jawa Timur
TN Gunung Rinjani, NTB
TN Manupeu Wanggameti – Gunung Wanggameti, NTT
TN Kelimutu – Gunung Kelimutu, NTT
TN Gunung Palung, Kalbar
TN Baka Bukit Raya – Gunung Bukit Raya, Kalbar-Kalteng
TN Manusela – Gunung Binaiya, Maluku
TN Lorenz- Pegunungan Jayawijaya, Papua

FENOMENA PENDAKIAN MASSAL
Beberapa tahun terakhir berkembang aktifitas pendakian gunung dalam jumlah besar di Indonesia yang dikenal dengan pendakian massal. Berapa banyak jumlah pendaki gunung yang dapat disebut pendakian massal memang belum ada ukurannya. Namun, biasanya jumlah pendaki bisa ratusan dan bahkan hingga ribuan orang.
Banyak hal dan pertimbangan yang matang jika akan melakukan pendakian dengan jumlah pendaki yang besar dan massif. Standart minimal safety prosedur pendakian tentu menjadi hal yang wajib. Namun, ada beberapa perbedaan dengan pendakian yang jumlahnya lebih sedikit. Seperti, jumlah peserta yang pasti sangat banyak. Semakin bervariasinya tingkat kecakapan, fisik dan mental setiap peserta pendakian. Dan sebagainya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan cenderung negative biasa terjadi dalam pendakian massal dengan jumlah peserta yang besar dan massif. Pengawasan anggota atau peserta pendakian kurang terkontrol dengan baik. Waktu pendakian biasanya menjadi sangat molor dari jadwal itinerary. Sampah yang mungkin ditinggalkan oleh sebagian anggota. Rusaknya jalan setapak dan lain-lain.
Beberapa gunung di Indonesia yang kerap dijadikan tempat kegiatan pendakian massal, diantaranya Gunung Gede Pangrango, Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Lawu dan Gunung Rinjani. Karena sebagian besar gunung-gunung tersebut merupakan wilayah taman nasional, tentu pendakian dengan jumlah peserta yang besar harus dipersiapkan secara lebih baik. Kuota jumlah peserta, waktu pendakian dan peraturan-peraturan lainnya harus di fahami dengan baik. Misalnya berilah toleransi pengunjung atau pendaki lain di luar kegiatan pendakian massal dengan tidak mengambil batas seluruh atau bahkan melebihi kuota yang telah ditetapkan.
Kerjasamasa diantara pengelola taman nasional pegunungan dan para pendaki gunung harus dapat berjalan dengan baik. Masing-masing harus dapat saling menghormati. Pihak pengelola wajib melayani para pengunjung dan pendaki gunung serta membangun fasilitas-fasilitas yang semestinya tanpa merusak kawasan. Sebaliknya para pengunjung dan pendaki gunung wajib mematuhi aturan yang telah ditetapkan serta menjaga fasilitas yang ada.
Jadi lebih bijaksana jika melakukan pendakian jumlah yang sewajarnya dimana masing-masing anggota dapat saling control. Kalaupun akan melakukan pendakian dengan jumlah yang lebih besar, patuhi batas kuota atau daya dukung gunung yang akan didaki dan pecahlah menjadi beberapa grup kecil.
Bersikap bijak saat mendaki gunung adalah hal mutlak. Tidak semena-mena melakukan pendakian dan menghormati hak-hak alam sebagai sang empunya rumah.  Tanamkan selalu Leave Not Trace sebagai etika yang menjadi sikap dan kesadaran diri sendiri dalam setiap pendakian. Karena sejatinya pendaki gunung harus dapat menjadi garda terdepan penjaga kelestarian alam pegunungan.


Secara umum apa yang dimaksud dengan taman nasional?
Menilik kembali sejarah taman nasional di dunia, sebenarnya taman nasional pertama berdiri sejak tahun 1887. Namun demikian, perkembangannya di tingkat global baru dimulai pada tahun 1962, yaitu saat Kongres Taman Nasional Sedunia Pertama, di San Diego, Amerika Serikat. Kemudian disusul Kongres ke dua di Taman Nasional Yellowstone, Amerika Serikat, pada tahun 1972. Kedua kongres tersebut, diprakarsai oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Indonesia sendiri pada waktu itu baru mengikuti Kongres yang kedua.
Kemudian pada tahun 1982, Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional yang ke 3 yaitu di Bali. Saat itu, organisasi kehutanan masih setingkat Direktorat Jenderal, sedangkan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) setingkat eselon II dengan nama Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA). Sebelum Kongres, Indonesia telah mempersiapkan kawasan yang akan menjadi taman nasional yang pada waktu itu masih ditangani oleh Departemen Pertanian. Pihak-pihak seperti Agriculture Organization-United Nations Development Programme (FAO-UNDP) Nature Conservation and Wildlife Management Project, untuk mencari data ihwal konservasi alam dan pengelolaan satwa liar. Pada tahun 1979-1982, Indonesia mendapat bantuan dari FAO-UNDP untuk pengembangan taman nasional. Pembentukan taman nasional pertama di Indonesia, pada waktu itu mengikuti sistem skoring FAO-UNDP (1974-1978), yang intinya bahwa ke lima taman nasional tersebut merupakan perwakilan tipe-tipe ekosistem dan sudah bagus dalam hal pengamanannya, bebas dari manusia. Seiring dengan perkembangan waktu, beberapa kriteria ditambahkan lagi yaitu pembentukan kawasan nasional disesuaikan dengan daerah jelajah satwa atau tipe ekosistemnya.
Dalam perkembangannya, IUCN selanjutnya mendefinisikan kawasan konservasi (TN) sebagai suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian alam jangka panjang, lengkap dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya teriat yang ditunjuk untuk: (1) Melindungai integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya,untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang, (2) Menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian alam dan (3) Menyediakan landasan bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 didefinisikan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Sistem zoning ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, dijelaskan bahwa kawasan taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam. Zonasi ini mencakup zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Dalam peraturan di bawahnya yaitu PP. No. 28 Tahun 2011, pembagian zonasi ini diluar 3 zonasi tersebut dimungkinkan sesuai dengan keperluan.

Penataan zonasi ini pada prinsipnya untuk mengakomodir dua kepentingan yang sama-sama mendesak yaitu pelestarian alam dan kesejahteraan serta keberlangsungan hidup manusia. Tarik ulur antara desakan kepentingan dari luar dengan niat luhur untuk melestarikan kekayaan alam bagi generasi mendatang, membuat pemanfaatan di kawasan taman nasional tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, namun tetap berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian.

Kecenderungan pemanfaatan taman nasional ini terus berkembang. Jika sebelumnya konservasi hanya ditujukan untuk tujuan konservasi dan pengembangannya, diprioritaskan kepada perlindungan hidupan liar, maka dewasa ini pengembangannya diarahkan kepada pemanfaaan secara lestari. Hal ini semakin menguat setelah diselenggarakannya Kongres TN Sedunia ke-5 di Durban tahun 2003 yang menghasilkan kesepakatan bahwa setiap entitas kawasan konservasi harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan para pihak.

Kenapa taman nasional itu sangat penting untuk keberlangsungan hidup makhluk hidup termasuk manusia?

Kekayaan alam yang terkandung di dalam taman nasional itu sangat melimpah dan memiliki arti penting bagi semua makhluk hidup. Oleh karena itu, taman nasional bersama kawasan suaka alam lainnya disebut juga sebagai sistem penyangga kehidupan, baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Indonesia memiliki kawasan konservasi dengan luas lebih dari 27 juta hektar, dimana 17,2 juta ha adalah taman nasional. Di dalam hutan seluas ini terdapat sumber plasma nuftah baik flora dan fauna yang luar biasa, dari sisi jumlah maupun jenisnya. Dari jumlah spesies yang ada di dunia, kita memiliki 11% species tanaman, 10% species mamalia, 16 % species burung, 25.000 species flora dan 400.000 species fauna. Itu baru dari sisi plasma nutfah, maka tidak salah jika Indonesia disebut sebagai salah satu negara megabiodiversity. Belum lagi kekayaan lain berupa jasa lingkungan seperti air. Kita memiliki 600 milyar meter kubik air per detik. Untuk potensi karbon, terdapat sekitar 625 Giga ton karbon. Potensi lain adalah obyek dan daya tarik wisata alam. Yang tidak kalah menarik juga terdapat potensi energi panas bumi 29,5 giga watt dan energi listrik dari air 18,5 giga watt. Semua kekayaan tersebut merupakan kebutuhan hidup dasar manusia dan makhluk hidup lainnya. 

Pemanfaatan jenis flora dan fauna  serta jasa lingkungan di Taman Nasional tersebut didasarkan pada prinsip “save it” lalu “study it” dan yang terakahir adalah “used it” artinya manusia boleh memanfaatan apabila ada studi tentang daya dukung agar pemanfataan tsb dapat berkelanjutan dan tidak mengganggu keberlangsungan peran taman nasional tersebut.

Apa peranan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (Jasling)  – PHKA, Kementrian Kehutanan dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia?
Peran Direktorat tentunya tidak terlepas dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang kami emban sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.40/Menhut-II/2010 tanggal 20 Agustus 2010. Secara garis besar Direktorat PJLKKHL bertugas untuk melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan bimbingan teknis di bidang pemanfaatan jasa lingkungan kawasan konservasi dan hutan lindung. Dalam menjalankan tugas ini, Direktorat didukung oleh 5 Sub Direktorat teknis (Program dan Evaluasi, Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Pemanfaatan Wisata Alam, Bina Cinta Alam, dan Sub Direktorat Promosi dan Pemasaran Konservasi Alam). Berdasarkan tupoksi tersebut, kami memberikan arah dan kebijakan dalam bentuk seperti peraturan, pedoman, petunjuk teknis, yang menjadi dasar bagi para pengelola taman nasional dalam mengelola taman nasional, yaitu terkait dengan pemanfaatan jasa lingkungan (wisata, air, karbon, panas bumi) dan bina cinta alam. Bimbingan teknis dan pembinaan kepada pengelola juga kami lakukan baik dengan mengundang mereka ke pusat maupun kami yang datang langsung ke pengelola. Kami juga turut berperan serta dalam upaya meningkatkan kapasitas SDM di tingkat pengelola, misalnya melalui pelatihan-pelatihan. Apa yang kami lakukan tentunya tidak terlepas juga dari goal yang menjadi tujuan dari keluarga besar kami, PHKA. 

Dari 50 taman nasional di Indonesia yang ada saat ini, 18 diantaranya merupakan wilayah gunung/pegunungan. Mengapa wilayah gunung/pegunungan begitu penting untuk ditetapkan sebagai kawasan taman nasional?

Negara kita adalah negara cincin api, karena  dikelilingi oleh pegunungan berapi, dan sebagian besar dari gunung-gunung ini masih aktif dan sewaktu-waktu dapat meletus. Bahaya letusan gunung berapi tentu saja akan selalu mengiringi kehidupan manusia sepanjang masa. Namun dari sisi lain, gunung berapi memiliki berkah yang luar biasa bagi negara yang memilikinya. Setidaknya ada tiga kelompok sumber daya utama yang dapat diberikan oleh gunung berapi;  sumber daya mineral dan batuan, sumber daya energi dan sumber daya lingkungan. Gunung berapi juga memiliki nilai-nilai penting antara lain sebagai gudang plasma nutfah dengan keanekaragaman hayati dan faunanya; perlindungan fungsi hidro-orologis, karena merupakan daerah tangkapan air penting dan sumber air dari sungai-sungai yang mengalir di daerah sekitarnya; merupakan sumber nilai budaya dan kekuatan spiritual masyarakat sekitar; menyimpan potensi besar sebagai obyek wisata alam. Secara ekosistem global, wilayah pegunungan yang berada di bagian hulu adalah merupakan wilayah perlindungan bagi kawasan yang berada di hilir. Jika wilayah di bagian hulu ini tidak dijaga, dapat kita bayangkan bahaya yang mengancam bagi wilayah hilir. Contoh sederhana, jika hutan di bagian hulu ditebang, maka fungsi hidrologis akan terganggu baik di bagian hulu maupun hilir. Yang terkena dampaknya bukan hanya makhluk hidup yang berada di hutan, namun juga penduduk yang menetap di bagian hilir. Jadi, ini merupakan mata rantai, sehingga disebut sebagai ekosistem. Disinilah pentingnya pelestarian di kawasan hulu.

Seperti apa sebenarnya pengelolaan taman nasional di Indonesia terutama kawasan gunung/pegunungan?

Pengelolaan taman nasional di Indonesia secara teknis dikelola oleh Unit Pengelola Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal PHKA. Terdapat 77 UPT di seluruh Indonesia yang menjadi pengelola kawasan konservasi. Beberapa UPT baik eselon II dan III memiliki keunikan karena mengelola kawasan gunung/pegunungan seperti Gn. Leuser, Kerinci Seblat, Gede Pangrango, Halimun Salak, Merapi, Merbabu, Bromo Tengger Semeru, Gn.Rinjani, Kelimutu. Pengelolaan kawasan gunung/pegunungan tersebut tetap mengacu pada 3 (tiga) prinsip pengelolaan yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Jadi, para dasarnya tidak ada perbedaan kaidah dan aturan terkait pengelolaan untuk kawasan pegunungan maupun perairan. Yang menjadi perbedaan, pendekatan teknis yang dilakukan tentunya harus disesuaikan dengan kondisi fisik antara pegunungan dan perairan yang tidak sama.

Apa yang perbedaan pengelolaan taman nasional di Indonesia dengan di luar negeri?

Secara prinsip, pengelolaan taman nasional di Indonesia dengan luar negeri adalah ditujukan untuk pelestarian alam sehingga bermanfaat bagi manusia saat ini dan juga generasi masa mendatang. Hanya saja, secara aturan, memang berbeda. Pengelolaan taman nasional dalam hal anggaran 100% berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbeda dengan diluar negeri, pengelola taman nasional boleh menerima bantuan anggaran dari mitra. Sebagai contoh, di Taman Nasional Yosemite (Amerika), pemerintah hanya memberikan 20% dari total kebutuhan anggaran pengelolaan, sisanya diperoleh dari mitra. Di jepang, Taman Nasional Oze yang terletak di prefecture Gunma, Niigata dan Fukushima dikelola oleh Yayasan Oze yang merupakan yayasan publik dengan Presiden/wakil presiden Gubernur masing2 prefecture sedangkan anggotanya dari private sector. Contoh lain adalah hal penegakan hukum. Jika di Indonesia pengelola hanya berwenang terhadap tindak pidana kehutanan, maka di Amerika para pengelola juga bertanggung jawab terhadap pelanggaran umum yang terjadi di dalam kawasan yang menjadi wilayah kerjanya, seperti kecelakaan, narkoba, dan lain sebagainya.  Yang menarik, tiket masuk kawasan di Indonesia masih rendah sekali berkisar antara Rp. 1.500 – Rp. 2.500 per orang untuk wisatawan lokal dan Rp. 15.000 untuk wisatawan asing, maka tiket masuk kawasan taman nasional di luar negeri per orang nya lebih dari Rp. 150.000,-

Beberapa tahun belakangan fenomena pendakian massal dengan jumlah pendaki yang massif mulai ratusan bahkan ada yang hingga ribuan marak di Indonesia. Bagaimana bapak melihat hal tersebut? Apa dampak negatif yang paling mengkhawatirkan jika hal tersebut dilakukan di dalam kawasan taman nasional?

Saya prihatin jika memang terjadi fenomena itu. Kegiatan wisata alam di Taman Nasional seyogyanya mengedepankan konsep ekowisata. Konsep ini memiliki pengertian bahwa kegiatan wisata yang dilakukan harus bertanggung jawab dalam menjaga  kelestarian lingkungan.  Agar kelestarian lingkungan  terjaga hendaknya jumlah pengunjung yang memasuki kawasan harus sesuai dengan kemampuan daya dukung kawasan tersebut. Kunjungan ke suatu kawasan agar dapat termonitor dan terkendali, biasanya pengelola sudah menentukan pintu masuk yang resmi ke kawasan. Nah.. disini juga dituntut kesadaran yang penuh dari pengunjung kawasan agar turut menjalankan segala aturan yang ditetapkan, begitu juga pengelola tentunya harus lebih tegas mengawasi pelaksanaan aturan-aturan tersebut, sehingga semua pihak dapat bersama-sama dalam berpartisipasi menjaga kelestarian kawasan.
Dampak negatif dari wisata masal di kawasan konservasi yang paling utama adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan terganggunya fungsi kawasan, yang diakibatkan oleh kegiatan wisata masal, antara lain yang diakibatkan oleh pencemaran, sampah, vandalisme, kebakaran hutan, dan gangguan terhadap satwa-tumbuhan liar.
Dalam waktu dekat apa rencana Direktorat Jasling – PHKA untuk kawasan taman nasional gunung/pegunungan? Dan apa rencana jangka panjangnya agar pengelolaan taman nasional, terutama kawasan gunung/pegunungan menjadi lebih baik?

Kami akan melakukan pembinaan dan bimbingan teknis kepada Unit Pengelola Teknis selaku pengelola di lapangan terkait bidang tugas pokok dan fungsi instansi PJLKKHL seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Kami juga terus melakukan pembinaan terhadap generasi muda untuk meningkatkan kepedulian mereka terhadap pelestarian alam melalui  kegiatan-kegiatan bina cinta alam.

Merujuk pada Roadmap Pembangunan Kehutanan Berbasis Taman Nasional yang menjadi salah satu acuan arahan dan kebijakan Direktorat PHKA, untuk jangka panjang beberapa strategi yang akan dilakukan adalah : penguatan enabling condition melalui revitalisasi tatalaksana (deregulasi), penguatan kelembagaan, pemantapan kawasan dan pemulihan ekosistem, peningkatan kerjasama dan partisipasi, penyelesaian konflik.