MENDAKI GUNUNG DALAM
KAWASAN TAMAN NASIONAL
Taman nasional
menjadi tanda semakin tebalnya tekad Indonesia untuk mengayomi lumbung alam
yang berisi jutaan keanekaragaman hayati unik. Dengan banyaknya wilayah
gunung/pegunungan yang menjadi taman nasional seharusnya dapat menjadikan
pendaki gunung sebagai garda terdepan menjaga kelestarian kawasan pegunungan
dengan melakukan pendakian secara bijaksana
Aktiftias pendakian gunung kini semakin
banyak dan besar peminatnya. Indonesia sebagai negara yang mempunyai ratusan
gunung bisa dikatakan menjadi surganya para pendaki gunung. Saat akhir pekan
atau hari-hari libur nasional, hampir sepanjang tahun gunung-gunung di
Indonesia tidak pernah sepi dari aktifitas pendakian. Terlebih gunung-gunung di
Pulau Jawa, Sumatra, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi.
Namun, mungkin ada beberapa hal yang
tidak pernah kita sadari saat mendaki gunung pada gunung-gunung yang berstatus
taman nasional. Seperti diantaranya Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan
Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Mendaki gunung di kawasan taman nasional
sangat berbeda dengan gunung di luar kawasan. Ada aturan-aturan tersendiri yang
harus diketahui dan difahami. Karena kawasan taman nasional mempunyai aturannya
sendiri.
Telinga kita mungkin sudah tidak asing
lagi mendengar kata taman nasional. Tetapi mengenai pengertiannya sepertinya
tidak demikian. Banyak orang yang belum mengetahui apa itu taman nasional.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, taman nasional artinya kawasan pelestarian
alam yang dikelola, dimanfaatkan untuk kegiatan ilmu pengetahuan, pendidikan dan
pelatihan, serta rekreasi dan pariwisata. Pengertian mudahnya taman nasional
adalah areal atau kawasan yang dilindungi oleh negara.
Jadi taman nasional
sendiri dapat diartikan sebagai tanah yang dilindungi, biasanya oleh pemerintah
pusat, dari perkembangan manusia dan polusi. Taman Nasional merupakan kawasan
yang dilindungi (protected area) oleh World Conservation Union Kategori II.
Bicara taman nasional tentu tidak bisa
lepas kaitannya dengan konservasi. Konservasi dapat dipahami sebagai suatu
manajemen biosfer, tempat dimana mahluk hidup atau organisme melangsungkan
kehidupannya dengan menyediakan semua kebutuhannya secara berkelanjutan untuk
memperoleh manfaat bagi kehidupan manusia sekarang hingga generasi yang akan
datang.
Dimensi konservasi sangat luas.
Disadari bahwa manusia memiliki saling ketergantungan erat dengan
lingkungannya. Berbagai aktivitas manusia akan menimbulkan dampak positif
maupun negatif terhadap lingkungan tempat hidupnya. Begitu juga sebaliknya,
perubahan pada lingkungan akan sangat mempengaruhi kehidupan manusia dan mahluk
hidup lainnya.
Sejarah
Taman Nasional
Gagasan taman nasional
sendiri pertama kali tercetus karena dilatarbelakangi oleh seorang penyair
Inggris, Willian Wordsworth, pada tahun 1810, yang menggambarkan Danau District sebagai proerti nasional
“bagian dari hak milik nasional di mana setiap orang memiliki hak dan bagi yang
memiliki mata untuk melihat dan hati untuk menikmati”.
Kemudian seorang pelukis George Catlin,
saat melakukan perjalanan menuju Amerika Barat, tahun 1832, merasa khawatir akan masa
depan penduduk asli Amerika dengan segala keajaiban alamnya yang dia temui
dalam perjalananannya tersebut. Catlin menuliskan bahwa apa yang dia lihat itu dapat dilindungi
agar tetap ada dan lestari – (Beberapa kebijakan melindungi bagus dari
pemerintah)…dalam sebuah taman yang megah…taman nasional sebuah bangsa, dimana
hidup manusia dan hewan, di keliaran alam dan kesegaran dari keindahan alami
mereka”.
Kawasan Yellowstone menjadi taman
nasional pertama dalam sejarah dunia setelah diresmikan sebagai taman nasional
pada tahun 1872. Mengikuti jejak Yellowstone, negara-negara lainpun ikut
meresmikan kawasan-kawasan yang mereka anggap pantas menjadi taman nasional.
Diantaranya, kawasan Royal di sebelah selatan Sydney, Australia, diresmikan
sebagai Taman Nasional Royal pada tahun 1879. Lalu, Kanada, 1887, Gunung Rocky
resmi menjadi Taman Nasional dengan nama Banff National Park, yang sekaligus
menjadi taman nasional pertama di Kanada. Setelah PD II banyak taman nasional
diresmikan di seluruh dunia.
Taman
Nasional di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan
rekreasi.
Perkembangan taman nasional di
Indonesia sangat berkaitan dengan sejarah konservasi di Indonesia. Diawali
kegiatan perlindungan alam pada zaman Kolonial Belanda. Inisiatif perlindungan
alam ini muncul dari sekelompok para peneliti botani dan pencinta alam yang
menyatukan diri pada tahun 1912 dalam Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia
Belanda (Nederlandsch Indische
Vereeniging Tot Natuurbescherming). Perkumpulan ini mempelopori dan
mengusulkan perlindungan terhadap kawasan-kawasan dan jenis-jenis flora dan
fauna tertentu; mengusulkan peraturan-peraturan dan menyusun berbagai tulisan
ilmiah mengenai keanekaragaman hayati dan perlindungan alam di bumi nusantara
ini.
Wadah perkumpulan yang dimotori oleh Dr. Sijfert Hendrik Koorders ini,
dijadikan sebagai alat perjuangan para anggotanya yang memiliki perhatian untuk
mempertahankan kawasan hutan yang dinilai memiliki potensi keunikan flora dan
fauna, fenomena geologi dan keindahan panorama alamnya.
Perhimpunan ini mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda agar 12 lokasi ditunjuk sebagai cagar alam.
Usulan tersebut disambut baik oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, A.F.W. Idenburg. Maka pada tahun 1916
Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Stbl No. 278 yang memuat peraturan untuk
melindungi Alam di Hindia Belanda.
Salah satu upaya konservasi yaitu
menunjuk dan atau menetapkan suatu kawasan untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai kawasan konservasi. Kawasan Konservasi dinilai sangat penting sebagai
benteng untuk mempertahankan kawasan hutan yang memiliki nilai ekologis dan
berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi masyarakat di sekitar hutan.
Ada beberapa kriteria yang harus
dipenuhi jika suatu wilayah ingin ditetapkan sebagai taman nasional. 1. Kawasan
yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami; 2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik
berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih
utuh dan alami; 3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 4.
Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata
alam; 5. Merupakan kawasan
yang dapat dibagi kedalam Zona Inti, Zona Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona lain
yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan
penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Semangat untuk perlindungan kawasan
konservasi terus berlanjut pada paska kemerdekaan Indonesia hingga saat ini.
Sejarah pengelolaan kawasan konservasi terus bergulir, dan sebagai tonggaknya
pada tanggal 6 Maret 1980 ditetapkan 5 taman nasional pertama di Indonesia. 1.
Leuser yang membentang di belantara tropis Bukit Barisan Sumatera; 2. Ujung
Kulon dan 3. Baluran yang mengapit pulau Jawa di sisi barat dan timur; 4. Gede
Pangrango sebagai mahkotanya; dan 5. Komodo berdiri tegak mengawal di ujung
timur tanah air.
Kemudian 11 taman nasional menyusul
lahir pada 1982, dan hingga kini telah berkembang menjadi 50 taman nasional
yang menjadi kebanggaan bangsa dan perhatian dunia.
Gunung
Sebagai Kawasan Taman Nasional
Di Indonesia kawasan taman nasional
terbagi menjadi dua kategori. Taman nasional darat dan taman nasional laut.
Kawasan gunung dan pegunungan menjadi bagian dari taman nasional darat. Dari 50
taman nasional di Indonesia, 18 kawasan diantaranya merupakan wilayah
gunung/pegunungan. Diantaranya yang terkenal yaitu Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru (TNBTS) – Jawa Timur, Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) – Jawa Barat,
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) – Sumatera, Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL) – Sumatera, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) – Nusa Tenggara Barat
dan Taman Nasional Lorenz – Papua.
Sebagai kawasan taman nasional
sekaligus konservasi, gunung/pegunungan memegang peranan penting untuk
keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Wilayah gunung
tersebut memiliki sumber daya alam yang khas, keunikan tumbuhan, satwa dan
ekosistemnya, memiliki gajala alam dan satu atau beberapa ekosistem yang masih
utuh.
Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP)
sebagai salah satu dari 5 taman nasional pertama di Indonesia, menyimpan
sejarah panjang dalam dunia konservasi alam. Rentang waktu 1797-1952 tidak
kurang dari 370 ahli botani maupun zoologi mendaki gunung pangrango dan telah
menyumbangkan dunia ilmu pengetahuan flora-fauna. Etalase alam ini memainkan
peran utama dalam menguak rahasia ilmu pengetahuan untuk mendukung konservasi
alam. Bahkan ahli botani saat itu melukiskan Gunung Gede Pangrango sebagai
Mutiara Mahkota Jawa. Kawasan konservasi ini telah merubah pemahaman tentang
hutan yang awalnya gelap dan menyeramkan menjadi hutan tropis sebagai suaka
ekosistem yang kompleks dan gudang ilmu pengetahuan.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
merupakan taman nasional pegunungan yang memiliki hutan asli dan ruma bagi
mamala besar yang saat ini kondisinya diambang kepunahan, diatanranya, Gajah
Sumatera, Badak Sumatera, Harimau Sumatera dan Orangutan. TNGL telah ditetapkan
sebagai Cagar Biosfer bersama TNGP dan beberapa taman nasional lainnya oleh
UNESCO. Tahun 1984 TNGL ditetapkan sebagai ASEAN Park Heritage. Lalu TNGL juga
ditetapkan sebagai salah satu Tropical Rainforest of Sumatera sejak tahun 2004
oleh UNESCO dengan luas 1.094.692 Ha bersama TN Kerinci Seblat (TNKS) dan TN Bukit
Barisan Selatan.
Yang tidak kalah terkenalnya
dikalapangan para pendaki di Indonesia dan bahkan mancanegera Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dan Taman
Nasional Lorenz dengan gletser di puncaknya.
Sebagai salah satu wilayah yang paling
rentan di dunia, kawasan gunung yang telah ditetapkan sebagai taman nasional
mempunyai aturan-aturan tersendiri yang yang harus dipahami dan ditaati setiap
pengunjungnya. Seperti pembatasan jumlah pengunjung, penetapan wilayah camp,
waktu-waktu pendakian dan lain-lain. Semuanya dibuat untuk tetap bisa menjaga
kelestarian wilayah tersebut dari kerusakan dan kehancuran ekosistem sebagai
kawasan konservasi.
Aktifitas yang terlalu massif dengan
jumlah pengunjung yang melebihi kuota memberikan dampak yang negatif terhadap
wilayah taman nasional. Bukan hanya permasalahan klasik seperti sampah yang
mungkin ditinggalkan sebagian pendaki. Polusi bisingnya banyaknya jumlah
manusia juga dapat mengganggu ketenangan makhluk hidup lainnya. Bagaimana
ketersedian sumber airnya. Buang air besar yang tidak dilakukan secara benar
juga akan menimbulkan dampak yang buruk pada lingkungan. Bisa dibayangkan jika
hal tersebut dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan oleh jumlah orang yang
melebihi daya dukung suatu wilayah. Dan masih banyak dampak negatif lain yang
ditimbulkannya termasuk masalah keamanan, kenyamanan dan keselamatan para
pendaki itu sendiri.
Mengingat hal tersebut sepatutnya
sebagai pendaki gunung wajib mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam suatu
wilayah gunug/pegunungan yang akan didaki. Terutama aktifitas pendakian yang
dilakukan di dalam kawasan taman nasional. Prinsip Leave Not Treace (baca:
Leave Not Treace) dalam berkegiatan di alam bebas dapat menjadi pegangan untuk
kita melakukan aktifitas pendakian mapun aktifitas alam bebas lainnya.
Adanya taman nasional menjadi tanda
semakin tebalnya tekad Indonesia untuk mengayomi lumbung alam yang berisi
jutaan keanekaragaman hayati unik. Keberadaan taman nasional yang menjadi
kebanggaan nasional ini, menuntut ruang bathin bangsa untuk menunjukkan
komitmennya bagi pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan. Termasuk tentu kalangan pendaki gunung
yang seharusnya bisa menjadi garda terdepan untuk menjaga kelestarian kawasan
pegunungan dengan melakukan aktifitas pendakian secara bijaksana.
LEAVE
NOT TREACE – Etika Berkegiatan di Alam Bebas
Menjelajahi gunung/pegunungan
menjadikan pendaki gunung mengetahui banyak kondisi alam secara real. Karenanya menjaga keberlangsungan dan
kelestarian alam pegunungan harus
menjadi bagian dalam setiap pendakian.
Meningkatnya aktfitas manusia di alam
terbuka seperti gunung/pegunungan untuk mencari kesenangan, keindahan, rekreasi
dan minat khusus pendakian gunung otomatis turut peningkatan bekas atau tanda
yang ditinggalkan.
Peningkatan sampah, polusi udara,
polusi suara, rusaknya sumber air, kunjungan massif manusia, gangguan terhadap
kehidupan liar seperti tumbuhan dan hewan, menjadi tolok ukur perlunya aturan
baku mengenai perilaku atau etika yang berlaku secara internasional dalam
berkegiatan di alam bebas.
Sebagai bagian dari alam bebas, gunung/pegunungan menjadi salah satu
wilayah yang sangat rentan kelestariannya. Melihat hal tersebut,
sebuah lembaga nirlaba swasta di Amerika, National Outdoor Leadership
School (NOLS) sejak tahun 1990 telah mengembangkan Leave Not Trace. Etika berkegiatan di alam bebas. Awalnya dikembangkan untuk hutan hujan
tropis di Amerika Latin. Dimana pada dasarnya berlaku untuk hutan hujan tropis
diberbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Prinsip Leave Not Trace mempunyai
tujuan untuk meminimalisir dampak sosial dan lingkungan terhadap alam bebas,
seperti gunung/pegunungan. Prinsip ini dapat menjadi tuntutan
meminimalkan bekas-bekas kehadiran kita di alam bebas terutama wilayah yang
dilindungi seperti taman nasional, taman wisata alam dan cagar alam sebagai
kawasan konservasi. Sejatinya Leave Not Trace adalah etika yang menjadi sikap
dan kesadaran diri sendiri.
• Persiapan
dan Perencanaan Kedepan
• Pelajari
terlebih dahulu peraturan atau regulasi wilayah gunung/pegununganan yang akan
didaki.
• Jadwalkan
pendakian dengan baik untuk menghindari musim pendakian atau kunjungan yang
ramai.
• Persiapkan
diri untuk menghadapi cuaca ekstrem dan paling buruk serta bahaya dan keadaan
darurat.
• Pastikan
Anda memiliki keterampilan dan peralatan yang dibutuhkan untuk aktivitas Anda
dan untuk mengatasi keadaan darurat yang mungkin timbul.
• Untuk alasan
keselamatan dan lingkungan, minimalkan dampak terhadap pengguna barang yang
dapat menimbulkan sampah. Packing atau bungkus ulang makanan untuk mengurangi
sampah. Misalnya membuang kotak kardus yang tidak perlu
• Sebaiknya
datang dalam kelompok kecil. Jika dalam kelompok yang lebih besar, pecahlah
menjadi beberapa kelompok kecil.
• Hormati
dan Toleransi Terhadap Orang Lain
• Hormatilah
pendaki atau pengunjung lain dan lindungi kwalitas pengalaman mereka.
• Hormati
dan bertoleransilah dengan orang-orang yang tinggal dan bekerja di pedesaan
• Jangan
menutup pintu masuk hutan atau jalan-jalan setapak. Ingatlah mungkin mesin
pertanian, penduduk lokal dan layanan darurat memerlukan perlu akses tersebut
sewaktu-waktu.
• Berhati-hatilah
untuk tidak merusak properti, seperti tembok, pagar, dan tanaman.
• Berlaku
sopan, bertegur sapalah dengan pengunjung atau pengguna jalan setapak lainnya.
• Saat
turun melalui jalan setapak dan berpapasan dengan yang mendaki, dahulukan
mereka dengan memberinya jalan.
• Beristirahat
dan buatlah camp jauh dari jalan setapak dan pengunjung lainnya
• Biarkan
suara alam berlaku atau mengalir. Minimalkan suara kebisingan atau hindari
mengeluarkan suara keras dan bunyi-bunyian lainnya
• Menghormati
Kehidupan Liar
• Amati saja
hewan liar dari jauh. Jangan mendekati atau mengikutinya Hindari mengganggu
mereka, seperti pada waktu sensitifnya: musim kawin, bersarang dan membesarkan
anak.
• Jangan
memberi makan hewan liar. Memberinya makan dapat mengganggu kesehatan mereka,
mengubah perilaku atau kebiasaan alaminya, mengekspos mereka untuk predator dan
bahaya lainnya serta merusak rantai makan yang ada.
• Lindungi
kehidupan liar dan makanan kita dengan menyimpannya dalam wadah. Juga simpan
sampah dalam tempat yang aman dan jauh dari gangguan hewan liar.
• Berjalan
dan Berkemah Pada Permukaan Tanah Yang Baik dan Keras
• Permukaan
tanah yang baik dan keras, termasuk diantaranya, jalan setapak yang jelas,
tempat berkemah atau mendirikan tenda, batu, kerikil, dan rumput kering.
• Lindungi
daerah alami dan sumber air dengan memberi jarak yang cukup atau tidak
mendirikan tenda terlalu dekat dengan sumber air seperti mata air, sungai atau
danau.
• Temukan
tempat terbaik untuk mendirikan tenda. Usahakan atau sebaiknya tidak membuat.
Sangat tidak disarankan mengubah tempat berkemah, terutama pada daerah yang
populer seperti taman nasional yang juga sekaligus menjadi kawasan konservasi.
Untuk
daerah yang populer:
• Konsentrasikan
kegiatan pada areal perkemahan
• Berjalanlah
di tengah-tengah jalan setapak yang sudah ada, baik dalam kondisi basah maupun
berlumpur. Usahakan untuk tidak menginjak rumput dan tanaman liar lainnya di
pinggir jalan setapak.
• Jagalah
areal camp atau berkemah agar tidak melebar.
• Fokuskan
kegiatan diseputar areal berkemah,
terlebih pada daerah yang masih asli alamnya.
• Biasakan
mengembalikan areal berkemah seperti semula saat meninggalkannya.
• Hindari
menggunakan tempat atau lokasi dimana dapat timbul dampak baru terhadap alam
• Biarkan
Yang Anda Lihat dan Temukan
• Melestarikan
peninggalan masa lalu: jangan
menyentuh atau merubah susunan artefak, situs atau peninggalan budaya dan
sejarah atau masa lalu. Cukup melihat atau memeriksanya saja. Termasuk juga di
dalamnya sumur, daerah tambang dan monument.
• Biarkan
batu, tumbuhan dan objek lainnya sebagaimana Anda melihatnya saat itu.
• Jangan
membawa dan menaruh, menanam atau meninggalkan sesuatu (tumbuhan, binatang dan
lainnya) yang bukan habitat alami kawasan tersebut.
• Jangan
membangun struktur bangunan yang bersifat permanen. Hindari membuat parit,
kecuali jika benar-benar diperlukan dan jika sudah selesai timbun kembali atau
kembali bekas parit tersebut seperti sedia kala.
• Membuang
Limbah Dengan Benar
• Pack
saat masuk dan pack saat keluar. Periksa areal berkemah kita dan sekelilingnya,
apakah ada sampah atau makanan tersisa. Pack keluar semua sampah dan sisa-sisa
makanan yang Anda bawa.
• Timbun
limbah padat manusia dalam lubang yang digali dengan kedalaman 6 – 8 inch dan
berjarak paling tidak antara 25 – 60 meter atau lebih dari sumber air, areal
berkemah dan jalan setapak.
• Bawa
kembali kertas toilet dan produk kesehatan atau pemakaian pribadi lainnya
• Jika
mandi dan cuci peralatan makan, bawalah air dengan jarak yang cukup menjauh
dari sumber air. Minimalkan sesedikit mungkin penggunaan sabun berbahan
biodegradable.
• Buanglah
air bekas cucian peralatan masak dan makan Anda dengan cara memencarkannya.
• Minimalkan
Efek Penggunaan Api
• Kebakaran
dapat menyebabkan dampak yang lama dan menghancurkan hutan, habitat alami serta
lahan pertanian.
• Gunakan
kompor portable dan ringan dengan bahan bakar yang dapat disesuaikan jenisnya
untuk memasak.
• Pertimbangkan
secara masak dan bijak jika ingin membuat api unggun. Usahakan untuk tidak membuatnya, kecuali memang benar-benar
memerlukannya dan keadaan darurat dan mendesak. Perhatikan hal berikut jika
mendesak:
• Perhatikan
kondisi cuaca saat itu
• Gunakan
ranting atau batang pohon mati dan rubuh
• Buat
pada lokasi yang tahan terhadap api
• Buat api
unggun hingga menjadi abu
• Jangan
tinggalkan api unggun dalam keadaan masih menyala
• Pastikan
api telah benar-benar padam atau telah menjadi abu saat anda meninggalkannya
• Buat
lingkaran cincin api saat barbecue atau membuat gundukan api
• Jauhkan
kebakaran kecil. Gunakan tongkat kayu yang jatuh di tanah yang dapat
dipecah dengan tangan. Jangan gunakan vegetasi yang tumbuh untuk digunakan
sebagai kayu bakar
• Hindari
membakar plastik atau bahan lainnya: yang dapat memaparkan asap beracun
• Saat
membuat bakaran dan akan meninggalkannya, bakar hingga menjadi abu. Padamkan
api sepenuhnya, dan kemudian sebarkan abu dingin
KAWASAN
GUNUNG/PEGUNUNGAN INDONESIA YANG DITETAPKAN SEBAGAI TAMAN NASIONAL
• TN
Gunung Leuser, NAD
• TN
Batang Gadis – Gunung Sorik Marapi, Sumut
• TN
Kerinci Seblat, Jambi-Sumbar-Bengkulu-Sumsel
• TN Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
• TN
Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat
• TN
Gunung Ciremai, Jawa Barat
• TN Gunung
Merbabu, Jawa Tengah
• TN
Gunung Merapi, Jawa Tengah
• TN Bromo
Tengger Semeru, Jawa Timur
• TN Meru
Betiri – Gunung Sodung, Jawa Timur
• TN
Baluran – Gunung Baluran, Jawa Timur
• TN
Gunung Rinjani, NTB
• TN
Manupeu Wanggameti – Gunung Wanggameti, NTT
• TN
Kelimutu – Gunung Kelimutu, NTT
• TN
Gunung Palung, Kalbar
• TN Baka
Bukit Raya – Gunung Bukit Raya, Kalbar-Kalteng
• TN
Manusela – Gunung Binaiya, Maluku
• TN
Lorenz- Pegunungan Jayawijaya, Papua
FENOMENA
PENDAKIAN MASSAL
Beberapa tahun terakhir berkembang
aktifitas pendakian gunung dalam jumlah besar di Indonesia yang dikenal dengan
pendakian massal. Berapa banyak jumlah pendaki gunung yang dapat disebut
pendakian massal memang belum ada ukurannya. Namun, biasanya jumlah pendaki
bisa ratusan dan bahkan hingga ribuan orang.
Banyak hal dan pertimbangan yang matang
jika akan melakukan pendakian dengan jumlah pendaki yang besar dan massif.
Standart minimal safety prosedur pendakian tentu menjadi hal yang wajib. Namun,
ada beberapa perbedaan dengan pendakian yang jumlahnya lebih sedikit. Seperti,
jumlah peserta yang pasti sangat banyak. Semakin bervariasinya tingkat
kecakapan, fisik dan mental setiap peserta pendakian. Dan sebagainya.
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dan cenderung negative biasa terjadi dalam pendakian massal dengan
jumlah peserta yang besar dan massif. Pengawasan anggota atau peserta pendakian
kurang terkontrol dengan baik. Waktu pendakian biasanya menjadi sangat molor
dari jadwal itinerary. Sampah yang mungkin ditinggalkan oleh sebagian anggota.
Rusaknya jalan setapak dan lain-lain.
Beberapa gunung di Indonesia yang kerap
dijadikan tempat kegiatan pendakian massal, diantaranya Gunung Gede Pangrango,
Gunung Merapi, Gunung Semeru, Gunung Lawu dan Gunung Rinjani. Karena sebagian
besar gunung-gunung tersebut merupakan wilayah taman nasional, tentu pendakian
dengan jumlah peserta yang besar harus dipersiapkan secara lebih baik. Kuota
jumlah peserta, waktu pendakian dan peraturan-peraturan lainnya harus di fahami
dengan baik. Misalnya berilah toleransi pengunjung atau pendaki lain di luar kegiatan
pendakian massal dengan tidak mengambil batas seluruh atau bahkan melebihi
kuota yang telah ditetapkan.
Kerjasamasa diantara pengelola taman
nasional pegunungan dan para pendaki gunung harus dapat berjalan dengan baik.
Masing-masing harus dapat saling menghormati. Pihak pengelola wajib melayani
para pengunjung dan pendaki gunung serta membangun fasilitas-fasilitas yang
semestinya tanpa merusak kawasan. Sebaliknya para pengunjung dan pendaki gunung
wajib mematuhi aturan yang telah ditetapkan serta menjaga fasilitas yang ada.
Jadi lebih bijaksana jika melakukan
pendakian jumlah yang sewajarnya dimana masing-masing anggota dapat saling
control. Kalaupun akan melakukan pendakian dengan jumlah yang lebih besar,
patuhi batas kuota atau daya dukung gunung yang akan didaki dan pecahlah
menjadi beberapa grup kecil.
Bersikap bijak saat mendaki gunung
adalah hal mutlak. Tidak semena-mena melakukan pendakian dan menghormati
hak-hak alam sebagai sang empunya rumah.
Tanamkan selalu Leave Not Trace sebagai etika yang menjadi sikap dan
kesadaran diri sendiri dalam setiap pendakian. Karena sejatinya pendaki gunung
harus dapat menjadi garda terdepan penjaga kelestarian alam pegunungan.
• Secara
umum apa yang dimaksud dengan taman nasional?
Menilik
kembali sejarah taman nasional di dunia, sebenarnya taman nasional pertama
berdiri sejak tahun 1887. Namun demikian, perkembangannya di tingkat global
baru dimulai pada tahun 1962, yaitu saat Kongres Taman Nasional Sedunia Pertama,
di San Diego, Amerika Serikat. Kemudian disusul Kongres ke dua di Taman
Nasional Yellowstone, Amerika Serikat, pada tahun 1972. Kedua kongres tersebut,
diprakarsai oleh International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN). Indonesia sendiri pada waktu itu baru mengikuti Kongres yang
kedua.
Kemudian
pada tahun 1982, Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Taman Nasional yang ke 3
yaitu di Bali. Saat itu, organisasi kehutanan masih setingkat Direktorat
Jenderal, sedangkan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) setingkat eselon II dengan nama Direktorat Perlindungan dan Pengawetan
Alam (PPA). Sebelum Kongres, Indonesia telah mempersiapkan kawasan yang akan
menjadi taman nasional yang pada waktu itu masih ditangani oleh Departemen
Pertanian. Pihak-pihak seperti Agriculture Organization-United Nations
Development Programme (FAO-UNDP) Nature Conservation and Wildlife Management
Project, untuk mencari data ihwal konservasi alam dan pengelolaan satwa liar.
Pada tahun 1979-1982, Indonesia mendapat bantuan dari FAO-UNDP untuk
pengembangan taman nasional. Pembentukan taman nasional pertama di Indonesia,
pada waktu itu mengikuti sistem skoring FAO-UNDP (1974-1978), yang intinya
bahwa ke lima taman nasional tersebut merupakan perwakilan tipe-tipe ekosistem
dan sudah bagus dalam hal pengamanannya, bebas dari manusia. Seiring dengan
perkembangan waktu, beberapa kriteria ditambahkan lagi yaitu pembentukan
kawasan nasional disesuaikan dengan daerah jelajah satwa atau tipe ekosistemnya.
Dalam
perkembangannya, IUCN selanjutnya mendefinisikan kawasan konservasi (TN)
sebagai suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui,
diabdikan dan dikelola, menurut aspek hukum maupun aspek lain yang efektif,
untuk mencapai tujuan pelestarian alam jangka panjang, lengkap dengan
fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya teriat yang ditunjuk untuk: (1)
Melindungai integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di
dalamnya,untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang, (2)
Menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang
bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian alam dan (3) Menyediakan landasan
bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan
lain-lain.
Di
Indonesia sendiri sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
didefinisikan bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang
terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan.
Sistem zoning ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999,
dijelaskan bahwa kawasan taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk
tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata
dan rekreasi alam. Zonasi ini mencakup zona inti, zona rimba dan zona
pemanfaatan. Dalam peraturan di bawahnya yaitu PP. No. 28 Tahun 2011, pembagian
zonasi ini diluar 3 zonasi tersebut dimungkinkan sesuai dengan keperluan.
Penataan
zonasi ini pada prinsipnya untuk mengakomodir dua kepentingan yang sama-sama
mendesak yaitu pelestarian alam dan kesejahteraan serta keberlangsungan hidup
manusia. Tarik ulur antara desakan kepentingan dari luar dengan niat luhur
untuk melestarikan kekayaan alam bagi generasi mendatang, membuat pemanfaatan
di kawasan taman nasional tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, namun tetap
berdasarkan prinsip-prinsip pelestarian.
Kecenderungan
pemanfaatan taman nasional ini terus berkembang. Jika sebelumnya konservasi
hanya ditujukan untuk tujuan konservasi dan pengembangannya, diprioritaskan
kepada perlindungan hidupan liar, maka dewasa ini pengembangannya diarahkan
kepada pemanfaaan secara lestari. Hal ini semakin menguat setelah
diselenggarakannya Kongres TN Sedunia ke-5 di Durban tahun 2003 yang
menghasilkan kesepakatan bahwa setiap entitas kawasan konservasi harus dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat dan para pihak.
• Kenapa
taman nasional itu sangat penting untuk keberlangsungan hidup makhluk hidup
termasuk manusia?
Kekayaan
alam yang terkandung di dalam taman nasional itu sangat melimpah dan memiliki
arti penting bagi semua makhluk hidup. Oleh karena itu, taman nasional bersama
kawasan suaka alam lainnya disebut juga sebagai sistem penyangga kehidupan,
baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Indonesia memiliki
kawasan konservasi dengan luas lebih dari 27 juta hektar, dimana 17,2 juta ha
adalah taman nasional. Di dalam hutan seluas ini terdapat sumber plasma nuftah
baik flora dan fauna yang luar biasa, dari sisi jumlah maupun jenisnya. Dari
jumlah spesies yang ada di dunia, kita memiliki 11% species tanaman, 10%
species mamalia, 16 % species burung, 25.000 species flora dan 400.000 species
fauna. Itu baru dari sisi plasma nutfah, maka tidak salah jika Indonesia
disebut sebagai salah satu negara megabiodiversity. Belum lagi kekayaan lain
berupa jasa lingkungan seperti air. Kita memiliki 600 milyar meter kubik air
per detik. Untuk potensi karbon, terdapat sekitar 625 Giga ton karbon. Potensi
lain adalah obyek dan daya tarik wisata alam. Yang tidak kalah menarik juga
terdapat potensi energi panas bumi 29,5 giga watt dan energi listrik dari air
18,5 giga watt. Semua kekayaan tersebut merupakan kebutuhan hidup dasar manusia
dan makhluk hidup lainnya.
Pemanfaatan
jenis flora dan fauna serta jasa
lingkungan di Taman Nasional tersebut didasarkan pada prinsip “save it” lalu “study it” dan yang terakahir adalah “used it” artinya manusia boleh memanfaatan apabila ada studi
tentang daya dukung agar pemanfataan tsb dapat berkelanjutan dan tidak
mengganggu keberlangsungan peran taman nasional tersebut.
• Apa
peranan Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan
Lindung (Jasling) – PHKA,
Kementrian Kehutanan dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia?
Peran
Direktorat tentunya tidak terlepas dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang
kami emban sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.40/Menhut-II/2010 tanggal 20 Agustus 2010. Secara garis besar Direktorat
PJLKKHL bertugas untuk melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan bimbingan
teknis di bidang pemanfaatan jasa lingkungan kawasan konservasi dan hutan
lindung. Dalam menjalankan tugas ini, Direktorat didukung oleh 5 Sub Direktorat
teknis (Program dan Evaluasi, Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Pemanfaatan Wisata
Alam, Bina Cinta Alam, dan Sub Direktorat Promosi dan Pemasaran Konservasi
Alam). Berdasarkan tupoksi tersebut, kami memberikan arah dan kebijakan dalam
bentuk seperti peraturan, pedoman, petunjuk teknis, yang menjadi dasar bagi
para pengelola taman nasional dalam mengelola taman nasional, yaitu terkait dengan
pemanfaatan jasa lingkungan (wisata, air, karbon, panas bumi) dan bina cinta
alam. Bimbingan teknis dan pembinaan kepada pengelola juga kami lakukan baik
dengan mengundang mereka ke pusat maupun kami yang datang langsung ke
pengelola. Kami juga turut berperan serta dalam upaya meningkatkan kapasitas
SDM di tingkat pengelola, misalnya melalui pelatihan-pelatihan. Apa yang kami
lakukan tentunya tidak terlepas juga dari goal
yang menjadi tujuan dari keluarga besar kami, PHKA.
• Dari 50
taman nasional di Indonesia yang ada saat ini, 18 diantaranya merupakan wilayah
gunung/pegunungan. Mengapa wilayah gunung/pegunungan begitu penting untuk
ditetapkan sebagai kawasan taman nasional?
Negara
kita adalah negara cincin api, karena
dikelilingi oleh pegunungan berapi, dan sebagian besar dari
gunung-gunung ini masih aktif dan sewaktu-waktu dapat meletus. Bahaya letusan
gunung berapi tentu saja akan selalu mengiringi kehidupan manusia sepanjang
masa. Namun dari sisi lain, gunung berapi memiliki berkah yang luar biasa bagi
negara yang memilikinya. Setidaknya ada tiga kelompok sumber daya utama yang
dapat diberikan oleh gunung berapi;
sumber daya mineral dan batuan, sumber daya energi dan sumber daya
lingkungan. Gunung berapi juga memiliki nilai-nilai penting antara lain sebagai
gudang plasma nutfah dengan keanekaragaman hayati dan faunanya; perlindungan
fungsi hidro-orologis, karena merupakan daerah tangkapan air penting dan sumber
air dari sungai-sungai yang mengalir di daerah sekitarnya; merupakan sumber
nilai budaya dan kekuatan spiritual masyarakat sekitar; menyimpan potensi besar
sebagai obyek wisata alam. Secara ekosistem global, wilayah pegunungan yang
berada di bagian hulu adalah merupakan wilayah perlindungan bagi kawasan yang
berada di hilir. Jika wilayah di bagian hulu ini tidak dijaga, dapat kita
bayangkan bahaya yang mengancam bagi wilayah hilir. Contoh sederhana, jika
hutan di bagian hulu ditebang, maka fungsi hidrologis akan terganggu baik di
bagian hulu maupun hilir. Yang terkena dampaknya bukan hanya makhluk hidup yang
berada di hutan, namun juga penduduk yang menetap di bagian hilir. Jadi, ini
merupakan mata rantai, sehingga disebut sebagai ekosistem. Disinilah pentingnya
pelestarian di kawasan hulu.
• Seperti
apa sebenarnya pengelolaan taman nasional di Indonesia terutama kawasan
gunung/pegunungan?
Pengelolaan
taman nasional di Indonesia secara teknis dikelola oleh Unit Pengelola Teknis
(UPT) dibawah Direktorat Jenderal PHKA. Terdapat 77 UPT di seluruh Indonesia
yang menjadi pengelola kawasan konservasi. Beberapa UPT baik eselon II dan III
memiliki keunikan karena mengelola kawasan gunung/pegunungan seperti Gn.
Leuser, Kerinci Seblat, Gede Pangrango, Halimun Salak, Merapi, Merbabu, Bromo
Tengger Semeru, Gn.Rinjani, Kelimutu. Pengelolaan kawasan gunung/pegunungan
tersebut tetap mengacu pada 3 (tiga) prinsip pengelolaan yaitu perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan. Jadi, para dasarnya tidak ada perbedaan kaidah dan
aturan terkait pengelolaan untuk kawasan pegunungan maupun perairan. Yang
menjadi perbedaan, pendekatan teknis yang dilakukan tentunya harus disesuaikan
dengan kondisi fisik antara pegunungan dan perairan yang tidak sama.
• Apa yang
perbedaan pengelolaan taman nasional di Indonesia dengan di luar negeri?
Secara
prinsip, pengelolaan taman nasional di Indonesia dengan luar negeri adalah
ditujukan untuk pelestarian alam sehingga bermanfaat bagi manusia saat ini dan
juga generasi masa mendatang. Hanya saja, secara aturan, memang berbeda.
Pengelolaan taman nasional dalam hal anggaran 100% berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbeda dengan diluar negeri, pengelola
taman nasional boleh menerima bantuan anggaran dari mitra. Sebagai contoh, di
Taman Nasional Yosemite (Amerika), pemerintah hanya memberikan 20% dari total kebutuhan
anggaran pengelolaan, sisanya diperoleh dari mitra. Di jepang, Taman Nasional
Oze yang terletak di prefecture
Gunma, Niigata dan Fukushima dikelola oleh Yayasan Oze yang merupakan yayasan
publik dengan Presiden/wakil presiden Gubernur masing2 prefecture sedangkan
anggotanya dari private sector. Contoh lain adalah hal penegakan hukum. Jika di
Indonesia pengelola hanya berwenang terhadap tindak pidana kehutanan, maka di
Amerika para pengelola juga bertanggung jawab terhadap pelanggaran umum yang terjadi
di dalam kawasan yang menjadi wilayah kerjanya, seperti kecelakaan, narkoba,
dan lain sebagainya. Yang menarik,
tiket masuk kawasan di Indonesia masih rendah sekali berkisar antara Rp. 1.500
– Rp. 2.500 per orang untuk wisatawan lokal dan Rp. 15.000 untuk wisatawan
asing, maka tiket masuk kawasan taman nasional di luar negeri per orang nya
lebih dari Rp. 150.000,-
• Beberapa
tahun belakangan fenomena pendakian massal dengan jumlah pendaki yang massif
mulai ratusan bahkan ada yang hingga ribuan marak di Indonesia. Bagaimana bapak
melihat hal tersebut? Apa dampak negatif yang paling mengkhawatirkan jika hal
tersebut dilakukan di dalam kawasan taman nasional?
Saya
prihatin jika memang terjadi fenomena itu. Kegiatan wisata alam di Taman
Nasional seyogyanya mengedepankan konsep ekowisata. Konsep ini memiliki
pengertian bahwa kegiatan wisata yang dilakukan harus bertanggung jawab dalam
menjaga kelestarian
lingkungan. Agar kelestarian
lingkungan terjaga hendaknya
jumlah pengunjung yang memasuki kawasan harus sesuai dengan kemampuan daya
dukung kawasan tersebut. Kunjungan ke suatu kawasan agar dapat termonitor dan
terkendali, biasanya pengelola sudah menentukan pintu masuk yang resmi ke
kawasan. Nah.. disini juga dituntut kesadaran yang penuh dari pengunjung
kawasan agar turut menjalankan segala aturan yang ditetapkan, begitu juga
pengelola tentunya harus lebih tegas mengawasi pelaksanaan aturan-aturan
tersebut, sehingga semua pihak dapat bersama-sama dalam berpartisipasi menjaga
kelestarian kawasan.
Dampak
negatif dari wisata masal di kawasan konservasi yang paling utama adalah
terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan terganggunya fungsi kawasan, yang
diakibatkan oleh kegiatan wisata masal, antara lain yang diakibatkan oleh
pencemaran, sampah, vandalisme, kebakaran hutan, dan gangguan terhadap
satwa-tumbuhan liar.
• Dalam
waktu dekat apa rencana Direktorat Jasling – PHKA untuk kawasan taman nasional
gunung/pegunungan? Dan apa rencana jangka panjangnya agar pengelolaan taman
nasional, terutama kawasan gunung/pegunungan menjadi lebih baik?
Kami
akan melakukan pembinaan dan bimbingan teknis kepada Unit Pengelola Teknis
selaku pengelola di lapangan terkait bidang tugas pokok dan fungsi instansi
PJLKKHL seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Kami
juga terus melakukan pembinaan terhadap generasi muda untuk meningkatkan
kepedulian mereka terhadap pelestarian alam melalui kegiatan-kegiatan bina cinta alam.
Merujuk
pada Roadmap Pembangunan Kehutanan Berbasis Taman Nasional yang menjadi salah
satu acuan arahan dan kebijakan Direktorat PHKA, untuk jangka panjang beberapa
strategi yang akan dilakukan adalah : penguatan enabling condition melalui
revitalisasi tatalaksana (deregulasi), penguatan kelembagaan, pemantapan
kawasan dan pemulihan ekosistem, peningkatan kerjasama dan partisipasi,
penyelesaian konflik.